Moustafa, Zweig, Herzl, dan Gaza

Di saat dimana saya seharusnya mengerjakan essay Sistem Informasi Manajemen saya, saya menggunakan waktu yang sedemikian sempit dengan sangat bijaksana, dan melakukan apa yang umumnya procrastinator akan lakukan –melarikan diri dari tanggung jawab dan melakukan hal yang sangat tidak terkait dengan tugas yang seharusnya saya lakukan, karena saya bosan.

Sebuah tautan Facebook menghubungkan saya pada The Grand Budapest Hotel, sebuah film karya Wes Anderson yang dirilis beberapa bulan yang lalu. Film ini begitu mencuri hati saya, diambil di Jerman dan Republik Ceko, serta Hungaria membuat nuansa Eropa begitu kental di dalamnya. Begitu indah diambil dan secara mengejutkan memiliki pesan yang sangat mendalam tersirat. Di luar konteks permasalahan Gustave yang menjadi sentral di film ini, adalah Zero Moustafa yang begitu mencuri perhatian penonton. Sosoknya sebagai pemuda yang begitu tulus dan jujur, dan sedikit “gila” membuatnya menjadi pusat perhatian tersendiri. Dia, seperti tokoh lain dalam cerita ini memiliki kisahnya yang unik, walau tidak selamanya indah.

Moustafa yang imigran dan terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya karena kekejaman perang dan mendapat perlakuan rasis dari tentara Republik Zubrowka agaknya sedikit banyak diambil dari interpretasi kisah Stefan Zweig yang menginspirasi pembuatan film ini. Ya, Stefan Zweig adalah penulis Austria terkenal yang memiliki latar belakang sebagai seorang Yahudi. Sebagai seorang Yahudi yang hidup pada zaman kekejaman perang di Eropa, tentunya kisahnya sudah begitu familiar di kalangan umum. Perlakuan rasis, kekejaman, pembunuhan, dan serangkaian perlakuan tidak adil lainnya harus mereka dapatkan karena atribut keyahudian mereka; identitas mereka sebagai bangsa yahudi, dan penganut agama yahudi.

Berdasarkan sumber yang sangat minim yang say baca, Zweig pernah bertemu dan bertukar pemikiran dengan Theodor Herzl. Pada saat mereka bertemu, Herzl memberitahukan gagasannya mengenai Zionisme dalam Der Judenstaat pada Zweig yang kemudian diketahui tidak tertarik pada hal tersebut dan menyebut tulisan Herzl sebagai “tulisan yang dungu, dan sepotong omong kosong”. Zweig menolak adanya ketidakadilan yang terjadi pada bangsa yahudi, tetapi dengan caranya tersendiri dengan damai.

Sebagai seseorang yang tidak hidup di zaman ketika umat yahudi begitu terkucilkan, terlebih lagi terpisah oleh jarak geografis yang begitu jauh, saya tidak begitu mengetahui mengenai apa yang terjadi di masa mereka dengan semena-mena ditindas oleh rezim penguasa yang sangat membenci mereka. Selain artikel-artikel sejarah yang saya baca dari internet, hanyalah beberapa film yang memotret kekejaman kepada kaum yahudi yang saya rujuk sebagai referensi, seperti The Pianist karya Roman Polanski yang juga memiliki latar belakang yahudi dan The Reader, sebuah film mengenai mantan prajurit Nazi yang harus menjalani hukuman akan sesuatu yang sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahannya. Kesamaan dari kesemuanya itu adalah kepiluan. Tidak hanya kepiluan yang disebabkan oleh kekejaman yang harus mereka terima, tetapi juga kepiluan karena sifat kemanusiaan yang menjadikan manusia sebagai manusia harus terenggut, menyisakan luka di kedua belah pihak. Luka akan kesalahan yang dibuat, luka akan penderitaan yang diterima, dan belum lagi cerita panjang mengenai potensi kebencian yang mungkin timbul dari luka-luka tersebut.

Ketika kita melihat seorang individu, terlepas dari atribut keagamaan, ideologi, status sosial, tingkat kecerdasan, dan atribut-atribut lainnya, kita akan melihat sebentuk makhluk yang sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dengan kita. Bentuk tubuh kita dengan mereka sama, darah kita sama, senyum kita, tangisan kita pun sama. Satu spesies dengan pebedaan marga dan genus. Lalu apa sebenarnya yang membuat kita begitu berbeda dengan yang lainnya?

Salah satu isu yang begitu sensitif untuk dibahas adalah isu mengenai agama. Berdasarkan pengetahuan pribadi saya yang begitu minim, marilah kita analogikan agama sebagai sebuah budaya berdasarkan asumsi kesamaan akan kelekatan kedua hal tersebut pada diri suatu individu. Tentu saja asumsi yang saya berikan di sini begitu invalid, tetapi biarlah saya mengemukakan apa pemikiran saya mengenai kenapa seharusnya umat agama yang satu dengan yang lainnya harus hidup berdampingan dengan damai.

Katakanlah agama adalah sama dengan budaya, maka kita akan melihat bahwa esensi dari budaya adalah asumsi dasar yang mendasarinya; penyebab mengapa sikap, nilai, dan perilaku yang kita munculkan adalah sikap, nilai, dan perilaku yang demikian. Dapatkah kita tanyakan apakah sebenarnya asumsi dasar dari suatu agama? Saya percaya asumsi dasar dari tiap-tiap agama adalah semangat untuk beribadah kepada pencipta dengan berlandaskan kepada nilai-nilai kebaikan dan perilaku yang mulia, terlepas dari bagaimana tiap-tiap umat menginterpretasikan pemahamannya mengenai ketuhanan dan cara-cara beribadah yang melingkupinya. Jika demikian, maka kita akan menyadari bahwa sebenarnya agama apapun adalah mengajarkan kebaikan, dan merupakan pengalaman spiritual dan preferensi individu masing-masing untuk menentukan nilai-nilai dan atribut-atribut apakah yang sesuai dengan dirinya masing-masing. Ini adalah hal yang personal. Akan sangat tidak bijak untuk menghakimi nilai-nilai kepercayaan yang seseorang miliki dan memaksakan kepercayaannya kepada orang lain. Apalagi lebih dangkal dari itu; menghakimi seseorang hanya berdasarkan keturunan dan latar belakang bangsanya.

Sekali lagi, saya tidak begitu mengetahui mengenai apa yang sebenarnya terjadi antara bangsa yahudi dan palestina karena keterbatasan pengetahuan dan jarak geografis yang begitu jauh. Saya hanya ingin mengungkapkan keingintahuan saya mengenai apa yang mungkin bangsa yahudi rasakan ketika mereka berada di posisi bangsa palestina saat ini. Apa yang mereka rasakan ketika apa terjadi di masa yang lalu kepada mereka sekali lagi terulang, tetapi kepada bangsa yang jauh lebih lemah dari mereka. Akankah mereka menjadi sosok pasukan-pasukan kejam yang membantai habis-habisan keluarga mereka –bertindak sebagai sosok yang mereka benci?

Adalah Shlomo, seorang bangsa dan umat yahudi yang hidup dengan cukup aman di Tel Aviv, jauh di tanah Israel sana yang mendeklarasikan dirinya sebagai orang yang mencintai kedamaian. Seorang yang memberitahukan saya mengenai tradisi umat yahudi, mengajarkan sedikit alfabet Hebrew pada saya, tentang Pretzel, sup kacang, dan apa yang keluarga yahudi lakukan untuk mendidik umat mereka menjadi bangsa yang begitu kuat. Jauh di atas rasa kebencian saya akan ajaran zionis yang begitu tirani dan memaksa, saya melihat di dalam dirinya dia tidak jauh berbeda dengan manusia-manusia manapun. Tidak jauh berbeda dengan bangsa Asia, Eropa, atau bangsa lainnya. Tetapi ketika suatu ketika kemarahan saya muncul karena apa yang terjadi pada bangsa palestina muncul, dan dengan emosi saya menanyakan kenapa Israel mampu bertindak sedemikian keji kepada mereka, jawaban yang begitu menyayat hati muncul: karena dia takut Hamas dan bangsa-bangsa Arab di sekitar lainnya akan meluluh-lantakkan bangsa yahudi, melakukan genosida yang terjadi pada zaman Hitler sekali lagi.

Begitu kejamnya doktrinasi dan penanaman kebencian yang terjadi dari satu pihak kepada pihak yang lain saat ini..

Ketika menemukan siapa yang benar dan siapa yang salah menjadi hal yang bukan penting lagi, kita kemudian akan dihadapkan pada pertanyaan mengenai apakah hal yang benar yang harus kita lakukan? Ini bukan lagi mengenai permasalahan latar belakang bangsa, agama, budaya, tanah kelahiran, ataupun aspek-aspek superfisial lainnya. Ketika asumsi dasar beragama tidak lagi kita hiraukan, bisakah kita melangkah lebih ke dalam lagi mengenai kesamaan yang sebenarnya masih kita miliki –kemanusiaan?
Mampukah kita berhenti saling menyakiti dengan asumsi bahwa kita sesama manusia harus dapat hidup berdampingan dengan damai?

Dan penggalan kalimat Gustave yang begitu indah di awal film begitu menghangatkan hati saya.”Masih ada secercah samar peradaban yang tersisa di rumah jagal yang barbarik ini, yang dulunya bernama kemanusiaan. Inilah salah satunya (mereferensikan kepada seorang anggota militer yang membantu Moustafa agar bisa lolos dari pemeriksaan militer dan perlakuan rasis tentara Republik Zubrowka). Semoga demikian adanya.

Atau mungkin pada akhirnya kita akan berakhir sebagai Zweig yang mengakhiri hidupnya di suatu kota di Brazil karena keputusasaannya mengenai masa depan dunia. Entahlah…




    

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Tentang saya

Back
to top