Seni Memandang Masalah dan Tidak Mengharapkan Apapun

Sekali lagi, di saat saya seharusnya melengkapi kerangka teori untuk proposal penelitian skripsi,  saya malah begitu ngebet dan terganggu apabila tidak segera menuangkan apa yang saya pikirkan ke dalam tulisan. Sejujurnya saat ini saya cukup kecewa mengenai beberapa hal, baik berupa hal yang dapat saya ubah, ataupun hal-hal yang tidak mampu saya ubah. Ada beberapa kekecewaan mengenai hasil yang telah saya capai, dan kekecewaan tersebut sedikit banyak mengubah cara berpikir saya mengenai diri saya sendiri dimana saya meragukan kemampuan diri saya dan saya menjadi takut gagal mengingat saya telah meragukan diri saya sendiri. Dan menilik sebuah ungkapan “You are what you think you are” hal tersebut membuat saya menjadi seperti apa yang saya takutkan. Sungguh merupakan lingkaran setan.
            Seorang yang saya kagumi dan juga merupakan guru yang mengajarkan banyak hal pada saya mengatakan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, seseorang tidak bisa merencanakannya sebagaimana orang tersebut merancanakan suatu bisnis. Seseorang tidak bisa merencanakan kapan dia bisa bahagia, atau dengan siapa dia bahagia. Karena pada dasarnya setiap hal berubah; situasi berubah, waktu berubah, dan orang-orang berubah. Selain itu pula, kekecewaan merupakan bagian dari hidup, karena siapa yang dapat menjamin hidup akan lebih bahagia apabila tidak pernah ada kekecewaan? J ya, kendati agaknya tidak ada satu orang pun di dunia ini yang ingin kecewa. Menanti kebahagiaan itu seperti menanti datangnya bus kota. Kita tidak tahu persis kapan hal itu akan datang, tetapi kita bisa memilih untuk meyakini bahwa hal tersebut akan datang pada akhirnya setelah beberapa lama menanti, ataupun memilih untuk tidak menanti dan mempercayai bahwa hal itu mungkin tidak akan datang.
            ”Everything will be okay in the end, if it is not okay it is not the end” – John Lennon
            Tetapi dalam proses menanti datangnya kebahagiaan tersebut seringkali seseorang kehilangan kesabaran. Kita mungkin memikirkan kapan datangnya kebahagiaan tersebut secara berlebihan, kenapa orang lain lebih bahagia dibandingkan diri kita, apakah yang kita perbuat sehingga kita mendapatkan ketidakbahagiaan yang saat ini kita rasakan dan berbagai macam pertanyaan lainnya. Dan itu membahayakan, karena pikiran yang liar tak terkendali adalah racun bagi diri kita sendiri. Kenapa demikian? Seringkali pikiran yang liar tersebut –terutama pikiran buruk akan mengalihkan perhatian kita dari setiap keindahan dan nikmat yang sejatinya kita terima setiap hari, sekecil apapun itu.. udara segar, tidur nyenyak, makanan yang lezat, tubuh yang sehat dan lain sebagainya.
            Kita bisa mengendalikan pikiran kita dalam menyikapi permasalahan dengan menggunakan seni melihat permasalahan. Melihat permasalahan berarti memandang suatu permasalahan dari perspektif yang lain dari perspektif konvensional yang seringkali kita lakukan. Saya masih ingat karena keteledoran saya, saya melewatkan ujian akhir semester Metode Kuantitatif dalam Pengambilan Keputusan, dan saya baru menyadari hal tersebut setengah jam sebelum ujian berakhir dan tidak mungkin lagi mengejar ketertinggalan tersebut. Untunglah saya mampu menghadiri ujian akhir semester Manajemen Operasi pada jam berikutnya, kendati sepanjang perjalanan dari rumah menuju kampus saya merutuki diri saya yang begitu ceroboh hingga melewatkan ujian akhir semester mata kuliah tersebut. Kurang lebih inilah bagaimana perspektif konvensional dan perspektif memandang masalah dikomparasikan:
Perspektif Konvensional: Saya begitu bodoh dan teledor dan mempertaruhkan nilai akhir saya dengan bertindak tidak bertanggung jawab terhadap studi saya.
Perspektif Memandang Masalah: Saya bisa saja melewatkan ujian mata kuliah Manajemen Operasional, tetapi syukurlah saya tidak melewatkan ujian tersebut dan tidak gagal di dua mata kuliah dan saya harus lebih bertanggung jawab terhadap studi saya lain kali.
            Orang Eropa Barat mungkin mengkritisi saya karena menggunakan pemikiran yang begitu fatalis mengenai sesuatu, karena takdir merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima dan belum terbukti secara logika. Tetapi di sinilah keindahan dari pemikiran tersebut, meskipun hal itu tidak dapat diterima secara logika bukan berarti saya tidak dapat mempercayainya, karena pemikiran tersebut mengajarkan saya untuk memahami konsep acceptance atau yang lazim kita sebut berpasrah terhadap sesuatu dan membantu saya agar tidak terlalu kecewa ketika ada hal-hal di luar harapan saya yang terjadi.
            Sebagai bagian dari konsep acceptance saya kira kita sebagai manusia harus mampu hidup dengan cara “tidak mengharapkan apapun”, dalam artian kita berusaha semampu kita dengan tanpa berekspektasi terlalu tinggi mengenai apa yang kita upayakan tersebut. Hope for the best, prepare for the worst. Sehingga dalam konteks ini saya mengatakan berharap dan berekspektasi merupakan dua hal yang diperlakukan secara berbeda, dimana saya menganggap berekspektasi dalam konteks ini sebagai suatu sikap dimana kita membayangkan hingga meyakini bahwa apapun yang kita inginkan akan dapat terwujud, dan berharap adalah tingkatan yang lebih rendah dari berekspektasi dimana kita hanya membayangkan kemungkinan bahwa apapun yang kita inginkan akan terwujud, dengan belum meyakini bahwa hal itu akan terjadi.
            Jadi dengan demikian agaknya saya telah melakukan self-diagnosing terhadap hal-hal yang mengganggu saya dan juga telah membuat self-prescription mengenai permasalahan yang ada di kepala saya. Sebagai penutup, saya ingin mengutip sebuah doa Serenity Prayer milik Reinhold Niebuhr yang agaknya masih relevan untuk digunakan saat ini:
“God, grant me the serenity to accept the things I cannot change,
The courage to change the things I can,
And the wisdom to know the difference”



CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Tentang saya

Back
to top