Letter For My Past And Future Self

“Soda becomes vodka. Bikes become cars. Kisses turn into sex. Remember when Dad’s shoulders were the highest place on earth and mum was your hero? Race issues were about who ran the fastest, war was only card game. The most pain you felt was when you skinned your knees, and good-byes only meant until tomorrow?
And we couldn’t wait to grow up"
-  Anonymous 
Satu penggalan kalimat yang saya dapat dari sebuah foto hasil saya browsing internet yang sejujurnya memiliki makna yang dalam buat saya. Saya pernah bertanya pada seorang kawan, “Apakah kamu pernah merasa punya mimpi yang sangat besar waktu kecil dulu, tetapi di saat dewasa pada kenyataannya kamu masih berada jauh dari mimpi masa kecilmu itu?”
Dengan santai dia menjawab “Well, dulu aku ingin menjadi pemain sepak bola lalu bermain untuk sebuah band  rock”
Aku bertanya balik “Dan lihatlah dimana kamu sekarang”
“Aku berubah. Saat ini passion-ku adalah bepergian keliling dunia dan ekologi. Aku bahagia dengan hidupku saat ini”
Jos kini bukan seorang pemain sepak bola atau anggota band rock, melainkan seorang ayah dua anak yang merangkap sebagai seorang programmer bagi sebuah perusahaan penyedia platform mobile bagi beberapa perusahaan. Kalau dulu impian saya apa ya….
****
Ah, sekolah di Jepang dan menulis buku komik atau novel di sana. Atau tidak, menjadi seorang dosen di sebuah perguruan tinggi, entah dosen apa.
****
Sejatinya saya tidak sejengkalpun melangkah lebih jauh menuju mimpi masa kecil saya. Saya tidak kuliah seni rupa di ISI Yogyakarta, tidak belajar psikologi, tidak belajar sastra Inggris ataupun Indonesia, dan sudah berbulan-bulan tidak menggambar atau rutin menulis blog.
  Saya yang saat ini hampir 23 tahun menghabiskan waktu seharian di depan komputer, bukan untuk membaca manga sebagai referensi cerita yang akan saya tulis, bukan menggambar untuk memperdalam teknik atau menciptakan karakter buat cerita manga saya, dan bukan belajar syntax Bahasa Inggris, kendati beberapa hari yang lalu saya tuntas membaca buku yang sudah sejak lama saya ingin baca: Boulevard De Clichy milik Remy Sylado.
Dan saat ini, dinihari yang sudah resmi menjadi hari minggu tanggal 5 Oktober 2014 saya sedikit tergelitik oleh sebuah pertanyaan. Kira-kira, apakah yang saya dalam versi lampau akan katakan ketika melihat saya di versi sekarang ini?
Mungkin Febri kecil akan bertanya, “Sudah sedekat apa kamu dengan mimpimu sejak dulu?”
Dan saya akan merasa canggung untuk menjawab dan berkata, “Sekarang sudah berubah.. keinginanku sekarang berubah, aku pun sudah berubah”
Febri kecil mungkin akan bertanya balik, “Apakah mimpimu saat ini?”
Saya akan menjawab asal-asalan, “Belajar ke Eropa dan keliling dunia, lalu berkeliling dunia, bekerja sebagai seorang penulis atau jurnalis”
Dan lagi-lagi Febri kecil yang cerewet akan mengajukan pertanyaan lain, “Lalu, sedekat apakah kamu dengan mimpimu yang saat ini?”
Dan mungkin saya akan terdiam tak mampu menjawab.
Saya lupa, sejak kapan saya berhenti bermimpi dan berusaha keras untuk mewujudkan itu. Ketika itu, saat saya masih di bangku SMP satu-satunya keinginan saya yang tidak pernah saya ceritakan pada siapapun adalah untuk mendapatkan nilai tertinggi dalam ujian nasional SMP dan masuk ke sekolah favorit di Yogyakarta untuk kemudian mengikuti program pertukaran pelajar ke Jepang karena saya sangat menyukai Jepang.
Tetapi, apalah daya karena seperti ucapan Tom Sharpe dalam Wilt, manusia sejatinya adalah makhluk keadaan. Alhamdulillah saya mampu mendapatkan nilai tertinggi di SMP, tetapi itu tidak serta merta membuat saya mampu bersekolah di sekolah favorit karena terbentur keadaan. Dan hingga kini saat saya berada di semester terakhir studi saya –jauh dari yang saya bayangkan sebelumnya di jurusan Manajemen Sumber Daya Manusia, saya tidak berada sejengkal pun dekat dengan impian-impian saya.
Dan… saya kira saya harus menebus kesalahan saya yang mengubur impian saya sebagai pengarang komik dengan berhenti menggambar. Saat ini sekiranya saya memiliki rencana untuk menyelesaikan studi dalam waktu 3,5 tahun dan mendapatkan pekerjaan yang layak untuk kemudian melamar beasiswa ke Eropa. Setidaknya itulah mimpi saya saat ini, -dan seperti saat sebelumnya saya tidak memiliki rencana matang yang lain selain daripada itu.
Saya tahu, mungkin saya telah tumbuh menjadi orang dewasa yang menyebalkan yang jauh dari standar yang saya tetapkan sendiri saat kecil dulu. Yah, saya tahu itu. Terkadang orang dewasa tidak lagi memiliki keberanian seperti yang mereka pernah miliki dulu saat masih kecil, karena banyak hal. Waktu itu saya sibuk sehingga tidak sempat lagi menulis cerita atau menggambar di sela-sela waktu senggang, dan dengan alasan bahwa belajar Manajemen lebih praktikal dan aman, saya meninggalkan impian saya sejak lama untuk belajar seni rupa.
Well..
Febri kecil, maaf kalau saya tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak kamu sukai. Saya sangat malas akhir-akhir ini, dan ada kalanya sedikit saja masalah yang membuat saya stres membuat saya menjadi tidak termotivasi selama beberapa hari. Saya tahu kalau saya harus bekerja dengan lebih keras lagi dan bertahan lebih kuat. Saya tidak begitu tahu mengenai hal yang membuat saya berhenti bermimpi besar seperti waktu dulu. Dan tiba-tiba dunia tidak tampak seramah yang kamu bayangkan.
Tetapi, bolehkah mulai saat ini saya memulai semuanya dari nol dan berjalan sedikit demi sedikit demi mimpi yang begitu saya dambakan saat ini? Saya kira boleh. Saya mungkin pelupa dan karenanya lewat tulisan ini saya ingin mengingatkan diri saya sendiri di masa yang akan datang bahwa apapun yang terjadi, saya harus berusaha mewujudkan mimpi-mimpi yang saya inginkan. Tidak menjadi pasal apabila usaha tersebut belum atau tidak berbuah, karena sejatinya perjalanan menuju tujuan yang kita inginkan adalah lebih penting dari tujuan itu sendiri.
Jadi, Febri.. Febri kecil dan Febri yang akan datang, jangan pernah menyerah ya. Dan Tuhan selalu menyertai.
   


CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Tentang saya

Back
to top